Ilustrasi oleh Yudixtag
HALEK sedang membantu anaknya yang duduk di kelas 2 SD
mengerjakan tugas rumah, ketika berita duka itu tersiar dari corong masjid.
“Innalillahi
wa innalillahi rojiun. Telah berpulang ke rahmatullah, Jumaria binti Cik Amat,
pukul tiga sore ini dikarenakan sakit. Jenazah akan dikebumikan hari ini juga.”
Lutut
Halek gemetar. Dia sangat kenal dengan nama yang disebutkan. Bukan saja karena
antara dia dan Jumaria punya pertalian darah, tetapi karena peristiwa memalukan
yang terjadi sepuluh tahun silam. Saat bapaknya meninggal dunia dan acara
tahlilan yang digelar selama tujuh malam itu diciderai Jumaria pada malam
pertamanya. Perkaranya sepele: Doa arwah!
“Kau
tak tahu, siapa almarhum Saiful bin Malik, hah?!”
Halek
masih tak dapat melupakan teriakan Jumaria itu. Sepasang mata yang melotot dan
telunjuk yang lurus ke arah batang hidungnya. Bibinya itu memaki-maki dirinya
dengan berapi-api di depan seluruh orang yang datang malam itu. Dia
kebingungan. Menoleh ke kiri dan ke kanan memandang para tamu dengan syok. Mulut
tergagap menahan malu.
“Saiful
itu adik kandung bapakmu. Dia memang sudah mati. Dan justru karena dia sudah
mati, kau harus memasukkannya ke dalam doa arwah. Kau sengaja tak
memasukkannya. Aku tahu itu! Kau dendam karena perkara warisan kebun karet. Itu
memang hak pamanmu. Bapakmu yang serakah!”
Dada
Halek terasa mendidih ketika mendengar almarhum bapaknya yang baru dikebumikan
siang tadi dibawa-bawa dalam perkara ini. Wajahnya memerah. Giginya
bergemerutup. Kakinya gemetar, menahan gigil.
“Bibi
jangan asal ngomong,” dia menggeram, mengeram kemarahan yang seperti gelegak
larva gunung berapi di dadanya. Jika tak memandang para tamu, dia sudah ikut
mengamuk. Bahkan bisa jadi telapak tangannya akan melayang ke mulut lancang
bibinya.
“Lalu,
apa perkara kau tak masukan pamanmu Saiful bin Malik ke dalam arwah yang
dikirim doa tadi? Kau sengaja, kan? Hah!” Bibinya berkacak pinggang,
menantangnya. “Tudin bin Seman kau masukan. Dia paman binimu. Lalu kau pandang
apa Saiful bin Malik?!” teriakan bibinya seperti petir yang menyambar lubang
cuping Halek, membuat kepalanya sakit dan wajahnya memerah. Senyap. Tak ada
yang bersuara, rumah yang baru saja ramai oleh ucapan tahlil dan tahmid telah
menjelma kuburan. Semua menunggu dengan dada berdebar.
Sungguh!
Halek benar-benar khilaf memasukkan nama itu. Dia tak ingat sama sekali saat
menuliskan nama-nama dalam daftar arwah yang akan disebutkan pada doa penutup
pembacaan yasin dan tahlil ini. Padahal dia sudah mengingat sebaik mungkin, tetapi
apa lacur, nama Saiful bin Malik luput dia tuliskan.
Memang
telah menjadi tradisi di kampungnya, Tanah Abang, usai pembacaan yasin dan
tahlil pada acara kematian, akan memanjatkan doa untuk para arwah keluarga ahli
musibah. Biasanya ahli musibah akan menuliskan nama-nama leluhur dan
keluarganya yang sudah meninggal di secarik kertas dan kertas itu akan dipegang
pemimpin doa.
“Aku
khilaf, Bi. Tak ada niat untuk melupakan Mang Saiful.”
“Halah!”
Bibinya menepiskan tangan di depan wajah Halek. “Khilaf tapi dengan paman ipar
tidak.” Perempuan itu melengos, membuang wajah. “Ingatlah, aku akan mencatat
ini. Haram bagiku dan anak-anakku menginjak rumah ini. Kau sendiri yang
memutuskan hubungan darah kita. Kau yang jual, aku beli secara kontan.”
Jumaria
berbalik, mengangkat kainnya dan menerobos para tamu, menuju pintu dapur.
“Jumaria!
Jumaria!”
Halek
masih mendengar suara emaknya memanggil nama itu, tapi tak ada sahutan. Dan
semua orang menatapnya dengan pandangan yang tak bisa Halek terjemahkan.
♦
INGATAN itu tak akan bisa Halek lupakan seumur hidupnya.
Seperti pepatah orang dusunnya, walau putih tulang berkalang tanah, hal buruk
akan terus dikenang orang. Peristiwa itu menjadi buah bibir bahkan sampai
sekarang. Halek sering mendengar saat menghadiri acara yasinan dan tahlilan
kematian, kerabat ahli musibah bertanya pada sanak-keluarganya.
“Sudah
diingat semua daftar doa arwah? Jangan sampai ada yang luput. Bisa perang macam
Halek dan bibinya Jumaria.”
Bila
mendengar hal itu, Halek akan pura-pura tak mendengar atau menyingkir ke bagian
pedapuran, tempat lanang-lanang menyiapkan kopi dan teh untuk para pelayat. Di
sana, dia akan menyembunyikan diri dalam remang malam.
Usai
kejadian memalukan itu, Jumaria dan seluruh anak bibinya tak sekali pun
menginjakkan kaki di rumah Halek. Bahkan ketika ada acara apa pun, termasuk
saat Halek mengkhitan anak laki-lakinya. Dia pun secara perlahan menjaga jarak,
mengikuti irama yang telah dibuat oleh bibinya.
Halek
juga tahu, usai malam pertama yasinan dan tahlilan kematian bapaknya, Jumaria
mengadakan yasinan dan tahlilan malam Jumat di rumahnya. Tak ada acara
istimewa, alasannya terdengar sederhana tapi cukup menampar Halek. Yasinan dan
tahlilan itu dibuat untuk almarhum Saiful bin Malik dan dari orang-orang, Halek
pun tahu saat pembacaan doa arwah, namanya bapaknya tak disebutkan sama sekali.
♦
BERITA tentang bibinya yang tergolek sakit sejak beberapa
bulan lalu, memang sudah Halek dengar. Istrinya sekilas pintas pernah
menyampaikan itu saat mereka berboncengan ke kebun karet di pagi buta. Namun
Halek tak menanggapinya, dia justru mengalihkan pembicaraan tentang anak kedua mereka
yang akan lulus SD.
Bibinya
dikabarkan kena diabetes basah. Kakinya membusuk dan bernanah, sudah
bolak-balik ke rumah sakit di Palembang tetapi tak ada hasil. Setahun terakhir,
kondisinya kian parah, bahkan kata tetangga, bau busuk sudah tercium dalam
radius beberapa meter dari rumahnya.
“Seminggu
ini emak teringat terus dengan Jumaria. Saban sembahyang wajahnya terkenang.
Apa perkaralah,” ucapan itu emaknya sampaikan usai sembahyang isya seminggu
silam. Saat Halek, istrinya dan emaknya menghadap meja makan, sementara
anak-anaknya belajar mengaji di langgar.
Istrinya
seketika menoleh kepada Halek, tetapi Halek tak berkata sepatah kata pun.
“Dengar-dengar,
sakit Bi Jumar semakin parah, Mak,” ujar istrinya.
“Iya,
emak dengar juga.”
“Emak
tak nak bezuk?” pertanyaan itu terdengar lirih dan hati-hati. Halek masih
melihat istrinya mencuri pandang ke arahnya.
“Tak
tahulah. Emak bingung.” Emaknya menjawab tanpa menoleh kepada Halek, lalu meja
makan menjadi hening. Mereka bertiga makan dalam diam, tersesat dalam pikiran
masing-masing. Sebenarnya, Halek ingin sekali berkata pada emaknya, tengoklah Bi Jumar kalau-kalau dia butuh
emak sebagai kakak iparnya. Namun kalimat itu seakan tersangkut di
kerongkongannya, dia tak dapat mengucapkannya. Dan anak-anak paman bibinya juga
tak seorang pun yang bertandang ke rumah, menceritakan
penyakit emak mereka yang semakin kronis dan berharap mereka bisa berbaikan sebelum
Bi Jumar meninggal dunia.
Halek
ingat sekali, semasa kecil, dia sering diasuh oleh bibinya ini. Bahkan dia
kerap menginap di rumah bibinya yang sudah punya televisi, menonton bersama
anak-anaknya saat malam Minggu. Bibinya baik, tak pernah membedakan mereka.
Memang ada sedikit salah paham antara bapaknya dan Mang Saiful, perkara warisan
kebun karet dari kakek mereka yang ada di Talang Gula sana.
Bapaknya
berkeyakinan jika kebun karet yang memiliki enam ratus batang siap sadap itu
haknya karena adiknya itu sudah mengambil rumah limas warisan orangtua mereka,
sementara Mang Saiful beranggapan itu haknya karena dia yang menghidupi kedua
orangtua mereka sampai meninggal dunia, terlebih ketika abangnya itu menikah
dulu, orangtua mereka menjual sebidang kebun untuk mas kawin dan biaya pesta.
Memang
perkara ini tak sampai besar, tak saling lapor ke kades atau ke kantor polisi.
Mereka bisa didamaikan oleh keluarga, itu pun Mang Saiful harus memberi uang
sebagai penghormatan kepada abangnya. Perkara selesai, hubungan mereka kembali
baik. Bahkan bapaknya mengamuk seperti orang kesurupan ketika adik laki-lakinya
itu meninggal karena kecelakaan lalu lintas saat mengantar getah karet ke
Palembang beberapa tahun kemudian.
Jadi
Halek tak pernah habis pikir, kenapa bibinya menuding dia dendam ihwal kebun
karet warisan itu? Dia benar-benar khilaf. Tak ingat sama sekali dengan nama
Saiful bin Malik, jadi nama itu luput disebutkan saat doa arwah dipanjatkan.
Hal yang paling Halek sesalkan saat itu, dia tak sempat memperlihatkan daftar
nama dalam doa arwah kepada emak atau sanak kerabat lainnya. Pikirannya terlalu
kalut. Kematian bapaknya yang mendadak dan kesibukan yang tiba-tiba di rumah
dalam rangka yasinan dan tahlilan selama tujuh malam telah membuatnya tak bisa
kosentrasi.
Halek
tak tahu, apa dia dendam atau tidak pada bibinya? Hal yang dia rasakan sejak
malam itu hanya satu saja: Bibinya telah mempermalukan dia di depan orang-orang
Tanah Abang. Rasa sakit hati dipermalukan itulah yang membuat dia mengikuti
irama bibinya.
♦
“PAK, soal yang ini aku tak dapat jawab,” anaknya
menarik-narik sarung Halek, dia tergagap, lamunannya buyar.
“Soal
yang mana?” tanyanya.
“Sebutkan
tiga amalan yang tak putus bagi anak Adam walau dia sudah meninggal dunia.”
Halek
ingat. Itu pelajaran mengajinya dulu. Guru Taibeng mengatakan, hanya tiga hal
dari dunia yang tetap sampai ke anak Adam yang sudah di alam kubur. Doa anak
saleh atau shalehah. Amal jariyah. Dan terakhir ilmu yang bermanfaat.
Dada
Halek terasa sesak. Kenapa dia bisa lupa selama ini? Tak ada doa arwah dari
orang-orang dalam tiga hal itu. Seketika dadanya terasa kebas dan bayangan
wajah Bi Jumar membayang. []
Pali,
2016-2018.
Guntur Alam, buku kumpulan cerpennya Magi Perempuan dan Malam Kunang-kunang, Gramedia Pustaka Utama,
2015. Kini menetap di Pali, Sumatera Selatan. Bisa dihubungi di twitter
@AlamGuntur.

Komentar
Posting Komentar