CERPEN - Penunggang Elang Biute (TRIBUN JABAR, 09 JULI 2017)

foto diambil dari elpalmartvextra.blogspot.com

SAAT aku berusia tujuh tahun dan emak tengah mengandung adikku, dia bercerita tentang penunggang elang biute yang kerap terdengar malam buta di belakang rumah kami. Suaranya selalu saja mendirikan bulu romaku. Bila lengkingan suara pilu yang menyayat kalbu itu sudah terdengar, aku gegas meringkuk dalam pelukan emak, menyembunyikan degup di dada. Wajah emak berubah pasi dan ebak akan gegas menyimbahkan garam dari pintu dapur, mulutnya komat-kamit melafalkan ayat suci.
Sebelum aku tahu jika lengkingan pilu seperti ratapan hantu dari dasar kubur itu, berasal dari penunggang elang biute, aku pernah bertanya pada emak, “suara apa itu? Seperti suara ratapan kematian.”
“Penunggang elang biute,” bisik emak, tepat di telingaku, suaranya lirih, tapi sanggup membuat bulu kudukku kembali berdiri. Nama itu terdengar angker. Dalam bahasa Melayu kampung kami, biute berarti buta. Jadi ada seseorang yang menunggangi burung elang yang kedua matanya buta di langit malam yang demikian kelam. Bagaimana bisa?
“Dia tak butuh mata, sebab temannya bisa melihat walau dalam gulita sekali pun. Segelap-gelapnya langit malam, temannya jauh lebih pekat dari itu.”
“Siapa teman elang biute ini, Mak?”
“Sesuatu yang tidak diterima langit dan bumi,” emak menjawab masih dengan berbisik. Aku mengernyitkan kening, tak mengerti. “Dia berasal dari kerak neraka.”
Kutelan ludah. Kata-kata neraka langsung membuatku teringat dengan buku komik yang kubeli dari abang yang jual agar dan permen telur cicak di pinggir panggar sekolah. Buku komik itu membuatku ketakutan setengah mati. Gara-gara komik itu pula aku rajin mengaji ke langgar dan tak ingin berbuat dosa. Bahkan aku dan kawan-kawanku tak berani lagi mencuri jambu biji milik Kakek Menot yang pelit itu, sebab kami takut nanti masuk neraka dan kedua tangan kami di gergaji oleh malaikat.
Jadi, bagaimana aku tak hampir mati karena takut ketika emak mengatakan, jika penunggang elang biute ini berasal dari kerak neraka?
“Mengapa dia ada di sini?” tanyaku kala itu, takut-takut.
“Dia ingin mencuri adikmu,” suara emak bergetar. Aku mencengkram lengan emak. Keringat dingin telah membasahi telapak tanganku.
“Mencuri adik?” aku hampir terkencing di celana. “Bagaimana caranya?”
Lalu, cerita emak bergulir dan memenuhi ingatanku sampai detik ini.
KATA emak, penunggang elang biute adalah hantu perempuan yang ingin membalas dendam. Dia membawa sebuah kutuk warisan. Dia hanya bisa bebas dari kutukannya bila dapat mencuri seorang bayi yang baru dilahirkan, setelahnya dia bisa menukar jiwa kotornya dengan jiwa suci bayi tak berdosa.
“Bagaimana dia akan mencuri adik, Mak?”
“Banyak caranya,” emak mengusap rambutku lembut.
“Ceritakan padaku,” aku meminta.
“Jangan ah, nanti kau takut tidur sendiri.”
“Tak, Mak,” aku merengek.
Emak tersenyum, mengelus rambutku.
“Penunggang elang biute itu setan. Dia dapat menyalin rupa dengan apa pun, termasuk berubah wujud menjadi dukun beranak.”
Aku seketika beringsut, melipat jarak antara aku dan emak. Terdengar tawa emak, pelan, lalu dia mengulum senyum melihat tingkahku.
“Katanya tadi tak takut.”
Aku menyeringai, malu.
“Dulu, sewaktu emak masih kecil. Mungkin lebih tua satu atau dua tahun darimu sekarang. Penunggang elang biute pernah mencuri bayi di dusun kita.”
“Hah?” aku membulatkan mata, “yang benar, Mak?”
“Iya. Anaknya Kajut Muya,” emak berbisik.
“Kajut Muya yang ada pohon kapuk belakang rumahnya?” aku memastikan.
“Iya.”
“Anaknya yang mana?”
“Yang bungsu.” Emak lekas menjawab. “Seharusnya dia punya anak laki-laki lagi, selain Mang Koyek itu. Tapi nasib malang menimpahnya.”
“Apa itu sebabnya kajut itu agak sedikit….” aku menyilang miring telunjuk di keningku.
“Iya,” suara emak melirih, dia mengusap pelan perutnya yang semakin hari semakin membesar. Kata ebak sekitar dua bulan lagi kami akan punya adik. “Sejak anaknya dicuri penunggang elang biute, Kajut Muya sedikit gila. Pilihannya memang itu. Bila tak mati dihisap darah sampai kering oleh setan itu, biasanya perempuan yang anaknya dicuri akan menjadi gila.”
Konon kata emak, malam saat Kajut Muya akan melahirkan bayinya, hujan deras tiba-tiba turun dari petang. Tanda-tanda Kajut Muya akan beranak memang sudah terlihat dan terasa sejak pagi, tetapi karena prosesnya masih lama, Kajut Mis yang jadi dukun beranak di dusun kami pulang ke rumahnya dulu. Katanya, lepas isya dia akan datang lagi. Menurut perkiraannya, bayi itu akan lahir saat itu.
Ternyata dugaan Kajut Mis sedikit meleset, saat pukulan bedug Magrib berlomba dengan suara guntur dan hujan deras yang mengguyur, Kajut Muya tak dapat menahannya lagi. Perutnya terasa sakit melilit dan ketubannya pecah. Laki Kajut Muya panik alang kepalang, dia tergesa berlari dalam hujan, menghalau cemas akan sambaran petir yang berdentam-dentam di kelam raya. Ditinggalkannya Kajut Muya bersama anak dan orangtuanya.
“Tak lama setelah laki Kajut Muya hilang ditelan malam dan hujan, tiba-tiba Kajut Mis datang. Dia muncul di teras dapur, mengetuk pintu dan sedikit basah.”
“Apa Kajut Mis tahu jika Kajut Muya akan segera beranak?” aku menyela, emak menempelkan telunjuknya lagi. Emak mengangguk.
“Di mana Liman?” Mertuanya Kajut Muya menanyakan anak lanangnya yang pergi untuk menjemput Kajut Mis.
Saat emak bertanya demikian, mendadak saja bulu kudukku meremang. Sebuah pikiran mengerikan seketika memenuhi tempurung kepalaku.
“Oh, aku tak bertemu dengannya. Mungkin kami berlintas jalan, aku lewat kebun pisang di belakang rumah, memotong jalan karena hujan.”
“Dia ke rumah Kajut Mis untuk menjemput.”
“Tak apa,” perempuan itu menepiskan tangan di depan mertua Kajut Muya. “Sekejap lagi dia pulang kalau tahu aku sudah ke sini duluan. Melihat akan turun hujan deras, aku gegas ke sini. Takut kalau hujan tak akan bisa ke rumahmu. Kalau tak ada aku, siapa yang akan menolong menantumu?”
Mertua Kajut Muya menganggukkan kepala. Dukun beranak itu benar, jika bukan dia, siapa yang menolong menantunya.
“Ketubannya sudah pecah, makanya Liman menerobos hujan.”
“Oh, lekas kau siapkan air panas. Aku akan menemui Muya, kubantu dia beranak.”
Kajut Mis segera berlalu menuju kamar, sementara mertua Kajut Muya bergegas ke dapur, menanak air yang dipinta dukun beranak.
“Sekitar sepuluh menit, saat mertua Kajut Muya membawa baskom berisi air hangat, dia tiba-tiba terkejut karena anak lanangnya muncul bersama Kajut Mis yang menggigil dan basah kuyup. Dia mengeryitkan kening.”
Aku menelan ludah, kugeser duduk agar lebih dekat dengan emak.
“Lah, kenapa Kajut basah kuyup?”
“Iya, kami menerobos hujan. Ternyata payungku dipinjam Daitim kemarin, dia lupa mengembalikan.” Sahut Kajut Mis sembari mengipas-kipaskan bawahan kainnya yang basah. “Syukurlah kau sudah menyiapkan air hangat, lekas bawa ke kamar. Kita harus segera membantu Muya.”
“Tapi…” mertuanya Kajut Muya seperti kehilangan kata-kata. “Kajut kan sudah….”
“Kajut….!” Koyek tiba-tiba muncul dengan wajah pasi. “Kenapa Kajut Mis di dalam kamar gigit adik bayi.”
Praaangg….!
“Apa tak ada cara mengusirnya, Mak?” aku takut sekali jika penunggang elang biute itu mencuri adikku.
“Ada banyak cara menangkalnya. Mengusirnya dengan garam dan bacaan ayat Al Quran. Emak juga memakai jarum, gunting, peniti dan bunglai jerangeau.”
“Kalau mau menangkapnya, Mak?”
“Ah, itu emak tak tahu,” emak mendesah, “tapi kata orang, jika ada pohon besar di sekitar rumah dan istrimu tengah hamil lewat tujuh bulan, sebelum azan magrib kau pasang paku di lima titik batang kayu. Kepala. Kedua tangan. Kedua kaki. Ikatkan benang tujuh warna dan bunglau jerangau. Bacakan juga ayat kursi saat memasangnya, jika elang biute menjerit-jerit sembari terus berkitar di atas pohon itu, simbahkan garam dapur, dia akan terlihat dan terikat oleh paku. Jangan dicabut. Kau justru harus memukul paku di bagian kepala sampai terbenam, agar dia tak bisa bangkit lagi. Kau ingatlah itu. Kau paham?”
“Iya, Mak.”
Lalu, malam memelukku terlelap dalam dekapan emak yang hangat.
BERTAHUN-tahun, aku terus mengingat cerita emak itu, bahkan sampai detik ini, ketika istriku tengah hamil tujuh bulan. Sejak seminggu ini, aku terus mendengar suara lengkingan pilu elang biute di pekarang belakang rumah kami. Jeritan yang menyayat kalbu. Seperti teriakan seseorang yang sangat menderita.
Keliiiiiikkkkkkkk….
Aku mendongak. Nada itu begitu pilu. Perasaanku mengatakan jika elang biute itu terus berputar-putar di atas bubungan rumah kami. Istriku meringkuk ketakutan di sampingku, sementara ibu mertuaku menggenggam tangan kiri anaknya.
“Jangan kemana-mana,” aku tiba-tiba berdiri dari duduk. “Tetap di sini bersama emak. Aku akan menengok pasangan paku itu.”
“Aku takut, Bang.” Dia menahan kakiku. “Jangan pergi.”
“Tak apa. Ada emak. Aku cuma sebentar. Paling lima menit,” kulepas perlahan pegangan istriku. Aku melangkah menuju pintu pembatas antara dapur dan ruang tamu. Tadi, sebelum magrib aku sudah memasang paku di lima penjuru batang kapuk di belakang rumah kami. Seperti yang emak sarankan dulu.
Keliiiiiikkkkkkkk….
Suara lengkingan pilu itu terdengar lagi saat aku membuka pintu dapur. Aku seketika mendongak, dalam remang lampu teras, aku melihat sesuatu yang hitam besar terus berputar di atas pohon. Jantungku berdegup lebih kencang. Kakiku sedikit gemetar saat melangkah melewati daun pintu dapur. Di tangan kananku tergenggam erat palu, sementara di tangan kiri sebungkus besar garam dapur.
Keliiiiiikkkkkkkk….
Aku kembali mendongak. Elang biute itu terdengar seperti gelisah dan takut. Aku berdiri di depan batang kapuk yang menjulang ke kelam raya, seperti tangan ifrit yang menggapai dari dasar neraka. Tanganku agak gemetar ketika merogoh garam dan menyimbahkannya ke batang kapuk. Saat garam itu mengenai kulit kayu kapuk dan mulutku yang bergetar melafaz Ayat Kursi, tiba-tiba terdengar pekikan pilu. Aku tersurut. Mendadak saja, di depanku, terpaku di batang kayu sesosok perempuan kurus kering dengan rambut hitam kusut masai terikat. Namun bukan itu yang membuatku tercekat, tapi wajahnya.
Dia mendongak, memandangku, mata kami bertemu.
“Boyot,” suaranya lirih, memanggilku. “Tolong emak, Yot. Tolong emak.” Dia merengek. Bulu kudukku berdiri. Suara itu. Wajah itu. Tuhan… aku tak akan lupa. Itu… itu suara almarhum emakku. Emak yang meninggal saat melahirkan karena adik kami yang dicuri penunggang elang biute. Lidahku kelu.
“Yot,” dia merintih. “Tolong Emak. Bebaskan emak dari kutukan ini. Bebaskan emak dari kerak neraka.”
Aku gemetar. Palu di tanganku terlepas. []

G59, Agustus 2016.

dari dongeng yang dulu pernah diceritakan almarhum kajut.

Komentar