foto diambil dari elpalmartvextra.blogspot.com
SAAT
aku berusia tujuh tahun dan emak tengah mengandung adikku, dia bercerita
tentang penunggang elang biute yang kerap terdengar malam buta di belakang
rumah kami. Suaranya selalu saja mendirikan bulu romaku. Bila lengkingan suara
pilu yang menyayat kalbu itu sudah terdengar, aku gegas meringkuk dalam pelukan
emak, menyembunyikan degup di dada. Wajah emak berubah pasi dan ebak akan gegas menyimbahkan garam dari
pintu dapur, mulutnya komat-kamit melafalkan ayat suci.
Sebelum
aku tahu jika lengkingan pilu seperti ratapan hantu dari dasar kubur itu,
berasal dari penunggang elang biute, aku pernah bertanya pada emak, “suara apa
itu? Seperti suara ratapan kematian.”
“Penunggang
elang biute,” bisik emak, tepat di telingaku, suaranya lirih, tapi sanggup
membuat bulu kudukku kembali berdiri. Nama itu terdengar angker. Dalam bahasa
Melayu kampung kami, biute berarti buta. Jadi ada seseorang yang menunggangi
burung elang yang kedua matanya buta di langit malam yang demikian kelam.
Bagaimana bisa?
“Dia
tak butuh mata, sebab temannya bisa melihat walau dalam gulita sekali pun.
Segelap-gelapnya langit malam, temannya jauh lebih pekat dari itu.”
“Siapa
teman elang biute ini, Mak?”
“Sesuatu
yang tidak diterima langit dan bumi,” emak menjawab masih dengan berbisik. Aku
mengernyitkan kening, tak mengerti. “Dia berasal dari kerak neraka.”
Kutelan
ludah. Kata-kata neraka langsung membuatku teringat dengan buku komik yang
kubeli dari abang yang jual agar dan permen
telur cicak di pinggir panggar sekolah. Buku komik itu membuatku ketakutan
setengah mati. Gara-gara komik itu pula aku rajin mengaji ke langgar dan tak
ingin berbuat dosa. Bahkan aku dan kawan-kawanku tak berani lagi mencuri jambu
biji milik Kakek Menot yang pelit itu, sebab kami takut nanti masuk neraka dan
kedua tangan kami di gergaji oleh malaikat.
Jadi,
bagaimana aku tak hampir mati karena takut ketika emak mengatakan, jika
penunggang elang biute ini berasal dari kerak neraka?
“Mengapa
dia ada di sini?” tanyaku kala itu, takut-takut.
“Dia
ingin mencuri adikmu,” suara emak bergetar. Aku mencengkram lengan emak.
Keringat dingin telah membasahi telapak tanganku.
“Mencuri
adik?” aku hampir terkencing di celana. “Bagaimana caranya?”
Lalu,
cerita emak bergulir dan memenuhi ingatanku sampai detik ini.
♦
KATA emak,
penunggang elang biute adalah hantu perempuan yang ingin membalas dendam. Dia
membawa sebuah kutuk warisan. Dia hanya bisa bebas dari kutukannya bila dapat
mencuri seorang bayi yang baru dilahirkan, setelahnya dia bisa menukar jiwa
kotornya dengan jiwa suci bayi tak berdosa.
“Bagaimana
dia akan mencuri adik, Mak?”
“Banyak
caranya,” emak mengusap rambutku lembut.
“Ceritakan
padaku,” aku meminta.
“Jangan
ah, nanti kau takut tidur sendiri.”
“Tak,
Mak,” aku merengek.
Emak
tersenyum, mengelus rambutku.
“Penunggang
elang biute itu setan. Dia dapat menyalin rupa dengan apa pun, termasuk berubah
wujud menjadi dukun beranak.”
Aku
seketika beringsut, melipat jarak antara aku dan emak. Terdengar tawa emak,
pelan, lalu dia mengulum senyum melihat tingkahku.
“Katanya
tadi tak takut.”
Aku
menyeringai, malu.
“Dulu,
sewaktu emak masih kecil. Mungkin lebih tua satu atau dua tahun darimu sekarang.
Penunggang elang biute pernah mencuri bayi di dusun kita.”
“Hah?”
aku membulatkan mata, “yang benar, Mak?”
“Iya.
Anaknya Kajut Muya,” emak berbisik.
“Kajut
Muya yang ada pohon kapuk belakang rumahnya?” aku memastikan.
“Iya.”
“Anaknya
yang mana?”
“Yang
bungsu.” Emak lekas menjawab. “Seharusnya dia punya anak laki-laki lagi, selain
Mang Koyek itu. Tapi nasib malang menimpahnya.”
“Apa
itu sebabnya kajut itu agak sedikit….” aku menyilang miring telunjuk di
keningku.
“Iya,”
suara emak melirih, dia mengusap pelan perutnya yang semakin hari semakin
membesar. Kata ebak sekitar dua bulan
lagi kami akan punya adik. “Sejak anaknya dicuri penunggang elang biute, Kajut
Muya sedikit gila. Pilihannya memang itu. Bila tak mati dihisap darah sampai
kering oleh setan itu, biasanya perempuan yang anaknya dicuri akan menjadi
gila.”
Konon
kata emak, malam saat Kajut Muya akan melahirkan bayinya, hujan deras tiba-tiba
turun dari petang. Tanda-tanda Kajut Muya akan beranak memang sudah terlihat
dan terasa sejak pagi, tetapi karena prosesnya masih lama, Kajut Mis yang jadi
dukun beranak di dusun kami pulang ke rumahnya dulu. Katanya, lepas isya dia
akan datang lagi. Menurut perkiraannya, bayi itu akan lahir saat itu.
Ternyata
dugaan Kajut Mis sedikit meleset, saat pukulan bedug Magrib berlomba dengan
suara guntur dan hujan deras yang mengguyur, Kajut Muya tak dapat menahannya
lagi. Perutnya terasa sakit melilit dan ketubannya pecah. Laki Kajut Muya panik
alang kepalang, dia tergesa berlari dalam hujan, menghalau cemas akan sambaran
petir yang berdentam-dentam di kelam raya. Ditinggalkannya Kajut Muya bersama
anak dan orangtuanya.
“Tak
lama setelah laki Kajut Muya hilang ditelan malam dan hujan, tiba-tiba Kajut
Mis datang. Dia muncul di teras dapur, mengetuk pintu dan sedikit basah.”
“Apa
Kajut Mis tahu jika Kajut Muya akan segera beranak?” aku menyela, emak
menempelkan telunjuknya lagi. Emak mengangguk.
“Di
mana Liman?” Mertuanya Kajut Muya menanyakan anak lanangnya yang pergi untuk
menjemput Kajut Mis.
Saat
emak bertanya demikian, mendadak saja bulu kudukku meremang. Sebuah pikiran
mengerikan seketika memenuhi tempurung kepalaku.
“Oh,
aku tak bertemu dengannya. Mungkin kami berlintas jalan, aku lewat kebun pisang
di belakang rumah, memotong jalan karena hujan.”
“Dia
ke rumah Kajut Mis untuk menjemput.”
“Tak
apa,” perempuan itu menepiskan tangan di depan mertua Kajut Muya. “Sekejap lagi
dia pulang kalau tahu aku sudah ke sini duluan. Melihat akan turun hujan deras,
aku gegas ke sini. Takut kalau hujan tak akan bisa ke rumahmu. Kalau tak ada
aku, siapa yang akan menolong menantumu?”
Mertua
Kajut Muya menganggukkan kepala. Dukun beranak itu benar, jika bukan dia, siapa
yang menolong menantunya.
“Ketubannya
sudah pecah, makanya Liman menerobos hujan.”
“Oh,
lekas kau siapkan air panas. Aku akan menemui Muya, kubantu dia beranak.”
Kajut
Mis segera berlalu menuju kamar, sementara mertua Kajut Muya bergegas ke dapur,
menanak air yang dipinta dukun beranak.
“Sekitar
sepuluh menit, saat mertua Kajut Muya membawa baskom berisi air hangat, dia
tiba-tiba terkejut karena anak lanangnya muncul bersama Kajut Mis yang
menggigil dan basah kuyup. Dia mengeryitkan kening.”
Aku
menelan ludah, kugeser duduk agar lebih dekat dengan emak.
“Lah,
kenapa Kajut basah kuyup?”
“Iya,
kami menerobos hujan. Ternyata payungku dipinjam Daitim kemarin, dia lupa
mengembalikan.” Sahut Kajut Mis sembari mengipas-kipaskan bawahan kainnya yang
basah. “Syukurlah kau sudah menyiapkan air hangat, lekas bawa ke kamar. Kita
harus segera membantu Muya.”
“Tapi…”
mertuanya Kajut Muya seperti kehilangan kata-kata. “Kajut kan sudah….”
“Kajut….!”
Koyek tiba-tiba muncul dengan wajah pasi. “Kenapa Kajut Mis di dalam kamar gigit
adik bayi.”
Praaangg….!
“Apa
tak ada cara mengusirnya, Mak?” aku takut sekali jika penunggang elang biute
itu mencuri adikku.
“Ada
banyak cara menangkalnya. Mengusirnya dengan garam dan bacaan ayat Al Quran.
Emak juga memakai jarum, gunting, peniti dan bunglai jerangeau.”
“Kalau
mau menangkapnya, Mak?”
“Ah,
itu emak tak tahu,” emak mendesah, “tapi kata orang, jika ada pohon besar di
sekitar rumah dan istrimu tengah hamil lewat tujuh bulan, sebelum azan magrib
kau pasang paku di lima titik batang kayu. Kepala. Kedua tangan. Kedua kaki.
Ikatkan benang tujuh warna dan bunglau
jerangau. Bacakan juga ayat kursi saat memasangnya, jika elang biute
menjerit-jerit sembari terus berkitar di atas pohon itu, simbahkan garam dapur,
dia akan terlihat dan terikat oleh paku. Jangan dicabut. Kau justru harus
memukul paku di bagian kepala sampai terbenam, agar dia tak bisa bangkit lagi.
Kau ingatlah itu. Kau paham?”
“Iya,
Mak.”
Lalu,
malam memelukku terlelap dalam dekapan emak yang hangat.
♦
BERTAHUN-tahun, aku terus mengingat cerita emak itu, bahkan
sampai detik ini, ketika istriku tengah hamil tujuh bulan. Sejak seminggu ini,
aku terus mendengar suara lengkingan pilu elang biute di pekarang belakang
rumah kami. Jeritan yang menyayat kalbu. Seperti teriakan seseorang yang sangat
menderita.
Keliiiiiikkkkkkkk….
Aku
mendongak. Nada itu begitu pilu. Perasaanku mengatakan jika elang biute itu
terus berputar-putar di atas bubungan rumah kami. Istriku meringkuk ketakutan
di sampingku, sementara ibu mertuaku menggenggam tangan kiri anaknya.
“Jangan
kemana-mana,” aku tiba-tiba berdiri dari duduk. “Tetap di sini bersama emak.
Aku akan menengok pasangan paku itu.”
“Aku
takut, Bang.” Dia menahan kakiku. “Jangan pergi.”
“Tak
apa. Ada emak. Aku cuma sebentar. Paling lima menit,” kulepas perlahan pegangan
istriku. Aku melangkah menuju pintu pembatas antara dapur dan ruang tamu. Tadi,
sebelum magrib aku sudah memasang paku di lima penjuru batang kapuk di belakang
rumah kami. Seperti yang emak sarankan dulu.
Keliiiiiikkkkkkkk….
Suara
lengkingan pilu itu terdengar lagi saat aku membuka pintu dapur. Aku seketika
mendongak, dalam remang lampu teras, aku melihat sesuatu yang hitam besar terus
berputar di atas pohon. Jantungku berdegup lebih kencang. Kakiku sedikit
gemetar saat melangkah melewati daun pintu dapur. Di tangan kananku tergenggam
erat palu, sementara di tangan kiri sebungkus besar garam dapur.
Keliiiiiikkkkkkkk….
Aku
kembali mendongak. Elang biute itu terdengar seperti gelisah dan takut. Aku
berdiri di depan batang kapuk yang menjulang ke kelam raya, seperti tangan
ifrit yang menggapai dari dasar neraka. Tanganku agak gemetar ketika merogoh
garam dan menyimbahkannya ke batang kapuk. Saat garam itu mengenai kulit kayu
kapuk dan mulutku yang bergetar melafaz Ayat Kursi, tiba-tiba terdengar pekikan
pilu. Aku tersurut. Mendadak saja, di depanku, terpaku di batang kayu sesosok
perempuan kurus kering dengan rambut hitam kusut masai terikat. Namun bukan itu
yang membuatku tercekat, tapi wajahnya.
Dia
mendongak, memandangku, mata kami bertemu.
“Boyot,”
suaranya lirih, memanggilku. “Tolong emak, Yot. Tolong emak.” Dia merengek.
Bulu kudukku berdiri. Suara itu. Wajah itu. Tuhan… aku tak akan lupa. Itu… itu
suara almarhum emakku. Emak yang meninggal saat melahirkan karena adik kami
yang dicuri penunggang elang biute. Lidahku kelu.
“Yot,”
dia merintih. “Tolong Emak. Bebaskan emak dari kutukan ini. Bebaskan emak dari
kerak neraka.”
Aku
gemetar. Palu di tanganku terlepas. []
G59, Agustus 2016.
dari dongeng yang dulu pernah
diceritakan almarhum kajut.

Komentar
Posting Komentar