BUNUH DIRI
KAU ditemukan tewas pagi ini, di kamar
apartemenmu. Asap briket seperti sulur-sulur malaikat maut yang bergegas,
ketika tangan rapuh kakak perempuanmu menarik kenop pintu kamar. Kau tergeletak
di lantai, membiru, diam dan seolah sengaja membiarkan kakakmu meraung-raung,
meratapi penyesalan yang tak akan pernah datang duluan.
Seminggu lalu, saat kalian merayakan Hari Ibu, kau pernah
bertanya pada kakak perempuanmu itu, “Jika aku mati, apa kau akan menangisiku?”
Kakakmu menepuk kepalamu dengan cangkir soju yang kosong
sembari berkata, “Kau gila! Siapa yang mau mati? Kau? Kau mau mati? Bila kau
berani mati terlebih dahulu, aku tak akan pernah memaafkanmu.”
Kau tercenung, mengangkat gelas sojumu dan menegak isinya
hingga tandas.
“Tolong, menangislah untukku. Bila pun kau tak bisa
menangisiku, kuharap kau tidak membenciku.”
Kakakmu tak pernah menjawab. Namun kau menyadari sesuatu,
kau tak pernah dianggap ada oleh siapa pun, bahkan oleh kakak perempuanmu
sendiri yang kalian pernah berbagi kamar sampai usiamu lima belas tahun dan dia
delapan belas tahun. Bayangkan itu, tak ada anak laki-laki yang berbagi kamar
dengan kakak perempuannya sampai kakaknya lulus SMA dan pindah ke kota untuk
kuliah. Namun kalian melakukannya. Sayangnya, hanya kau yang merasa jika kalian
begitu dekat, tapi kakakmu tidak. Dan kau merasa bahwa dirimu sangat
menyedihkan.
KAKAK PEREMPUAN
SAAT kau terbangun dari tidur ayam
sepanjang malam yang gila itu, kau merasa haus, lalu kau bergegas bangun.
Menyibak selimut dan menyeret tubuhmu yang ngilu dengan memar di sana-sini
menuju kulkas. Kau membasahi kerongkonganmu dengan segelas air dingin.
Sekelebat, kau merasa melihat seseorang melintas. Tergesa
tanganmu menjangkau saklar lampu, ruangan benderang. Tak ada sesiapa. Hatimu
menciut. Matamu bergerak liar, mencari-cari sosok itu.
Jangan, jangan, jangan.
Dirimu dilumuri praduga, dibasahi cemas jika laki-laki
berengsek yang sudah meninggalkan memar-memar di sekujur tubuhmu itu tiba-tiba
menyelinap, dia belum bahagia jika belum melihatmu kehabisan napas. Namun kau
tak melihat siapa pun. Kau menarik napas lega. Saat itulah, gelas yang hendak
kau letakan di atas meja, ternyata meleset. Jatuh menghantam lantai dan pecah
berkeping-keping, salah satu bagian melanting dan menancap di kulit kakimu. Kau
meringis saat mencabutnya. Kemudian kau menyeret langkah dan membiarkan darah
berceceran di lantai, seperti penanda agar kau tak tersesat.
Ketika kau sibuk mengelap darah yang mengucur dari kaki,
ponselmu berdering. Dadamu bergemuruh. Siapa yang menelepon di pukul tiga dinihari?
Kau menjangkau ponsel. Sebuah nama tertera. Adik laki-lakimu yang beruntung.
Dia yang jauh lebih beruntung darimu. Kemudahan hidup. Ketenaran. Kekayaan.
Kebahagiaan. Semua hal yang kau impikan justru dia yang memilikinya. Kau selalu
iri padanya. Kau selalu kesal. Namun kau tak pernah bisa mengatakannya.
“Ya,” kau menjawab dengan suara berat, berpura-pura baru
saja terjaga dari tidur lantaran dering telepon yang mengganggu.
“Hei,” suaranya renyah, seperti biasa. “Jangan bilang aku
mengusik tidur kerbaumu.”
“Itu kau tahu.”
Tawanya berderai, “Datanglah kemari. Aku butuh teman minum.
Kau tahu? Aku ingin merayakan sesuatu denganmu.”
“Kau mendapatkan peran itu?” dadamu terasa perih saat
menanyakannya.
“Tak perlu kujawab, kan?”
“Rayakan saja sendiri. Aku sangat mengantuk dan tak ingin
mengemudi saat ini. Kau tahu, besok aku akan sangat sibuk di kantor.”
“Oh ayolah... sesekali kau harus membiarkan bos mengerikanmu
itu panik dan merasakan betapa berharganya dirimu.”
“Akan kutemani kau minum besok, aku sangat mengantuk.” Kau
pura-pura menguap dan mendengkur halus, membiarkan sambungan tetap terhubung. Kau
berharap adikmu memutuskan sendiri telepon itu.
Terdengar helaan napasnya. “Kau benar-benar sudah tidur?”
dia bertanya dengan nada suara yang tiba-tiba berubah. “Apa kau masih
mendengarku?” kau terus pura-pura mendengkur.
“Padahal aku ingin ditemani minum. Aku ingin bercerita
banyak padamu. Betapa aku lelah dengan hidup ini. Betapa aku ingin mengakhiri
semua kepalsuan ini,” suaranya melemah, kau berdebar. “Kau tahu? Aku selalu iri
padamu. Dari dulu. Kau bebas memilih menjadi apa pun yang kau mau. Tak pernah
harus menjadi orang lain demi kebahagiaan orang lain.”
Telepon terputus dan kau membatu.
Apakah tidak terbalik? Bisik hatimu. Seharusnya aku yang iri
padamu? Lihatlah! Tak pernah benar-benar ada yang menginginkanku. Tak ada siapa
pun. Tidak ibu. Tidak laki-laki yang kuharap akan membuatku bahagia, tapi
ternyata dia justru membuatku semakin menderita. Bahkan tidak diriku sendiri.
Oh, ini menggelikan! Bahkan aku pun tidak mengharapkan diriku. Jadi, bagian
mana yang membuatmu iri padaku? Kau tengah berdusta. Mencoba menghibur atau
justru mengejek kemalangan hidupku.
Hatimu terus meracau di tempat tidur sampai pagi menyingsing
di balik gorden jendela apartemen, sesekali kau tertawa. Menertawakan lelucon
yang dilempar olehnya—kau terus menganggap racauan di telepon itu lelucon garing. Namun kini, kau menyadari itu
bukan sebuah joke. Kau memandang
tubuh kakunya yang membiru di lantai, asap beriket yang meliuk-liuk seperti
tarian dewi kematian, tanganmu gemetar saat menelepon 911. Lalu kau menangis.
Bukan! Ini bukan ratapan atas kematiannya, tapi tangisan iri atas
keberaniannya. Di saat seperti ini, kau masih saja iri padanya. Iri atas
keberanian mengambil keputusan atas hidupnya. Tak sepertimu yang penakut dan
rela hidup dalam kesengsaraan. Kau semakin iri padanya, dia selalu mendapatkan
apa yang dia mau.
TEMAN DEKAT
JATUH cinta pada pandangan pertama. Hei,
tidakkah itu terdengar picisan? Tapi itulah yang kau rasakan. Kau menyukainya
saat pertama kali kalian bertemu di bangku kelas sebelas. Dia duduk di pinggir
lapangan bola kaki, menyaksikan anak-anak kelas sepuluh yang berebutan benda
bundar itu di tengah terik matahari bulan Agustus. Lalu kau duduk di dekatnya,
jarak kalian hanya sehasta. Dia menoleh. Kau tidak balas menengok. Matamu menatap
lurus ke tengah lapangan bola. Kau tahu dia tengah menatapmu.
“Kenapa setiap hari kau hanya memandang orang-orang yang
berebut bola di lapangan ini? Kenapa kau tak pernah bergabung?” kau bertanya
sembari membuka minuman kaleng, menegak isinya dan meletakannya di antara
kalian berdua.
“Aku tak pandai bermain bola,” dia menjawab dengan suara
yang renyah. Dari ekor matamu, kau bisa menyaksikan jika dia pun memandang
lurus ke tengah lapangan.
“Tak pandai atau tak ingin kulit halusmu terbakar matahari?”
“Hei!” suaranya meninggi.
“Aku hanya bertanya, tak usah marah,” kau menjangkau kembali
minuman kalengmu dan menandaskan isinya. Dia tak menyahut. Dalam beberapa puluh
detik kemudian, kalian kehilangan topik obrolan. Kau ingin merutuki kesalahan
yang telah kau perbuat. Di lapangan, siswa kelas sepuluh terus berebut bola
yang menggelinding liar ke sana ke mari.
“Walau sebenarnya aku berharap melihatmu bermain bola, tapi
aku selalu lebih suka melihatmu di klub drama,” ujarmu.
Dia menoleh, matanya berbinar. “Apa kau sering menonton kami
latihan?”
“Kurasa peran Romeo itu akan kau dapatkan,” dadamu hampir
meledak.
“Ah, tidak. Kurasa Lee akan mendapatkannya.”
“Kau sering tak menyadari bakatmu sendiri.”
Lalu obrolan itu bergulir seperti bola salju, membentuk
lingkaran pertemanan yang kau harapkan. Kalian begitu dekat. Sangat dekat.
Setiap petang, di lapangan yang lengang, kau akan menemaninya latihan drama,
dia memerankan Romeo dan kau dipaksanya menjadi Juliet.
“Kita perlu totalitas,” ujarmu. “Totalitas.” Dan dia gemetar
saat kau memanggut bibirnya. Sepersekian detik dia terbelalak. Juga kau. Dia
terkejut atas keberanianmu. Dan kau terkejut atas letupan dalam dadamu. Namun
ciuman kedua dan lumatan yang panjang itu datang darinya. Kalian tenggelam,
mencampakan teks drama dan melupakan betapa hidup jauh lebih kejam daripada
mimpi dan harapan.
“Jangan pernah berharap jauh,” ujarnya dan kau paham, setiap
orang memang boleh bermimpi di dunia ini, kecuali orang-orang seperti kalian.
Kau dan dia tahu, tapi terkadang perasaan tak pernah ingin tahu. Waktu yang
gegas berlari dan dunia yang semakin hari semakin dipenuhi impian dan
keinginan, kalian bergumul dan terombang-ambing di antara bagian-bagian itu.
Seperti buih. Timbul tenggelam dan seolah kehabisan napas.
“Aku lelah,” ujarnya. “Aku lelah berpura-pura bahagia. Aku
lelah berpura-pura menjadi orang lain. Aku lelah berbohong. Sekali saja, aku
ingin jujur dan bahagia. Sekali saja.”
Dan kau tak bisa menjawab sepatah kata pun. Kau dan dia
sama. Kalian lelah, tapi dunia tak pernah memberi kalian ruang.
“Bertahanlah. Tak usah menuntut lebih. Sederhanakan definisi
bahagiamu, sepertiku. Bahagiaku bila terus bisa menjadi temanmu, tak pernah
lebih.” Dan di hari-hari terakhirnya pun kau terus saja memaksanya berdusta.
Bahkan ketika abu jenazahnya ditebar, kau masih ingin menipu dirimu sendiri;
ini hanya mimpi buruk. Ini hanyalah satu episode dari drama yang dia bintangi.
Kau tahu dirimu lelah, tapi kau tak ingin mengakuinya.
IBU
“BILA aku berhenti, lalu pergi dan hidup
menjadi orang biasa, apakah kau tidak marah dan kecewa padaku?”
“Apa yang kau bicarakan?” kau memandangnya tajam.
“Aku hanya lelah. Aku ingin hidup bahagia seperti orang
lain.”
“Dan ribuan orang di luar sana ingin hidup sepertimu.”
“Ma,” dia memandangmu dengan tatapan kanak-kanak yang
terekam di memorimu, pandangan anak laki-laki manis yang tak ingin pergi les
tapi ingin bermain video game.
“Aku tak pernah melarangmu berteman dengan siapa pun.
Silakan. Kau tahu siapa dirimu. Batasanmu. Tapi jangan bersikap konyol.”
Percakapan itu terus terulang dalam tempurung kepalamu,
seperti tayangan yang selalu diputar kembali setelah usai. Mengejar
penyesalanmu yang tentu saja terlambat. Bila saja kau disuruh memilih sekarang;
tetap melihatnya bernapas dan kehilangan semua kebanggaan ini atau melihatnya
terbujur kaku dengan tubuh membiru di kamar jenazah tapi tetap melahirkan rasa
iri di dada seluruh ibu negeri ini. Kau tentu saja akan memilih yang pertama.
Namun semua sudah usai. Tak ada putaran ulang.
“Aku hanya lelah dan ingin beristirahat. Kumohon jangan
menangis dan menyalahkan dirimu.” Pesan suara terakhirnya yang dia kirim
untukmu.
Hanya itu. Tak ada luapan kemarahan. Caci maki. Penghakiman.
Dia anak laki-lakimu yang manis. Dia tetap menjadi anak kebanggaanmu. Dia tidak
marah. Tidak menyalahkanmu atas segalanya. Namun justru kalimat itu akan
menghantui malam-malam selama sisa hidupmu. Kau baru menyadari, betapa
menyedihkannya hidupmu, bukan hidupnya. []
Pali, 2017-2018.
kutulis saat mengetahui kabar kematian
seorang publik figur Korea Selatan.
Guntur Alam, buku
kumpulan cerpen gotiknya Magi Perempuan
dan Malam Kunang-kunang, Gramedia Pustaka Utama, 2015. Saat ini menetap di
Pali.

Komentar
Posting Komentar